Minggu, 22 November 2015

Penanganan Limbah Cair Pabrik Gula


 
        Indonesia adalah negara agraris dengan iklim subtropis. Di sinilah tumbuh dengan subur tanaman tebu dan bahkan Indonesia dikenal dengan cikal bakal tebu dunia. Tebu adalah bahan baku dalam pembuatan gula (gula kristal putih, white sugar plantation) di pabrik gula. Pada musim giling 2008 terdapat 61 pabrik gula di Indonesia yang aktif giling; yaitu 49 di Jawa, 8 di Sumatera dan 4 di Sulawesi. Pada umumnya pabrik gula tersebut menggunakan proses sulfitasi, sisanya proses defekasi remelt karbonatasi dan karbonatasi. Pada saat ini sebagian besar pabrik gula di Indonesia menggunakan proses sulfitasi dalam memurnikan nira.

Produksi tebu sekitar 34,5 juta ton dan gula yang dihasilkan sekitar 2,8 juta ton, dan telah mampu memenuhi konsumsi gula rumah tangga dalam negeri (sekitar 2,7 juta ton per tahun). Pada saat di Indonesia terdapat kurang lebih 60 Pabrik Gula yang beroperasi, dimana kebanyakan terdapat di Pulau Jawa khususnya Jawa Timur. Semua pabrik gula tersebut berbahan baku dari tanaman tebu. Tebu sangat efisien dalam merubah energi surya menjadi energi kimia. Dibandingkan dengan tanaman sejenis yang lain, tebu menghasilkan karbohidrat dan bahan kering jauh lebih tinggi. Walaupun bervariasi tetapi rata-rata dapat menghasilkan 50 ton bahan kering per hektar. Peluangnya untuk menjadi bahan baku industri kimia cukup besar, terutama karena karbohidrat merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui. Pabrik gula di Indonesia pada tahun 2007 berjumlah 59 pabrik. Produksi tebu tahun 2008 untuk daerah Jawa Timur saja mencapai 17 juta ton.

Setiap musim giling, pabrik gula selalu mengeluarkan limbah yang berbentuk cairan, padat dan gas. Limbah cair meliputi cairan bekas analisa di laboratorium dan luberan bahan olah yang tidak disengaja. Limbah padat meliputi ampas tebu, debu hasil pembakaran ampas di ketel, padatan bekas analisa laboratorium, blotong dan tetes. Limbah gas meliputi gas cerobong ketel dan gas SO2 dari cerobong reaktor pemurnian. Limbah pabrik gula tersebut perlu ditangani dengan seksama dan serius agar tidak mencemari lingkungan. Upaya penanganan limbah cair dilakukan melalui elektrolisis cairan bekas analisa di laboratorium dan mengolah limbah cair yang keluar dari pabrik gula dengan biotray. Penanganan limbah padat dilakukan dengan cara menangkap debu hasil pembakaran ampas dengan dust collector dan menanam atau membakar limbah padat bekas analisa di laboratorium ke tempat pembuangan. Upaya pencegahan limbah cair dan gas melalui penggunaan bahan penjernih aman lingkungan (PAL) dalam analisa di laboratorium, kontrol pembakaran ampas dan control pemurnian nira. Upaya pemanfaatan limbah padat melalui pemanfaatan ampas dan blotong sebagai bahan baku pupuk kompos, ampas untuk energi listrik di perumahan dan tetes sebagai bahan baku industri etanol, spiritus dan vitsin. Pemanfaatan kembali CO2 dari gas cerobong untuk pemurnian nira sebagai pengganti gas SO2.

Tetes atau molasses merupakan produk sisa (by product) pada proses pembuatan gula. Tetes diperoleh dari hasil pemisahan sirop low grade dimana gula dalam sirop tersebut tidak dapat dikristalkan lagi. Pada pemrosesan gula tetes yang dihasilkan sekitar 5 – 6 % tebu, sehingga untuk pabrik dengan kapasitas 6000 ton tebu per hari menghasilkan tetes sekitar 300 ton sampai 360 ton tetes per hari. Walaupun masih mengandung gula, tetes sangat tidak layak untuk dikonsumsi karena mengandung kotoran-kotoran bukan gula yang membahayakan kesehatan. Penggunaan tetes sebagian besar untuk industri fermentasi seperti alcohol, pabrik MSG, pabrik pakan ternak dll. Karena nilai ekonomisnya masih cukup tinggi pabrik gula biasanya menjual tetes ke industri lainnya. Secara umum tetes yang keluar dari sentrifugal mempunyai brix 85 – 92 dengan zat kering 77 – 84 %. Sukrosa yang terdapat dalam tetes bervariasi antara 25 – 40 %, dan kadar gula reduksi nya 12 – 35 %. Untuk tebu yang belum masak biasanya kadar gula reduksi tetes lebih besar daripada tebu yang sudah masak. Komposisi yang penting dalam tetes adalah TSAI ( Total Sugar as Inverti ) yaitu gabungan dari sukrosa dan gula reduksi. Kadar TSAI dalam tetes berkisar antara 50 – 65 %. Angka TSAI ini sangat penting bagi industri fermentasi karena semakin besar TSAI akan semakin menguntungkan, sedangkan bagi pabrik gula kadar sukrosa menunjukkan banyaknya kehilangan gula dalam tetes. Semakin kecil kadar sukrosa maka penekanan kehilangan gula semakin optimum.

Tebu digiling kemudian diekstrak niranya, hasil samping dari proses giling ini adalah ampas tebu. Rata – rata ampas yang diperoleh dari proses giling 32 % tebu. Dengan produksi tebu di Indonesia pada tahun 2007 sebesar 21 juta ton potensi ampas yang dihasilkan sekitar 6 juta ton ampas per tahun. Selama ini ampas hanya digunakan sebagai bahan bakar boiler. Apabila Pabrik gula dapat efisien dalam penggunaan bahan bakar maka ada potensi ampas lebih. Potensi ampas yang berlebih dapat dimanfaatkan untuk diproses sebagai produk turunan, seperti partikel board.

Pada pemrosesan gula dari tebu menghasilkan limbah atau hasil samping, antara lain ampas, blotong dan tetes. Ampas berasal dari tebu yang digiling dan digunakan sebagai bahan bakar ketel uap. Blotong atau filter cake adalah endapan dari nira kotor yang di tapis di rotary vacuum filter, sedangkan tetes merupakan sisa sirup terakhir dari masakan yang telah dipisahkan gulanya melalui kristalisasi berulangkali sehingga tak mungkin lagi menghasilkan kristal. Rata-rata blotong dihasilkan sebanyak 3.8 % tebu atau sekitar 1.3 juta ton blotong per tahun. Blotong dari PG Sulfitasi rata-rata berkadar air 67 % dan kadar pol 3 %.Blotong merupakan limbah yang bermasalah bagi pabrik gula dan masyarakat karena blotong yang basah menimbulkan bau busuk. Oleh karena itu apabila blotong dapat dimanfaatkan akan mengurangi pencemaran lingkungan.

Sebelum dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku energi listrik, media kompos dan lain-lain, penanganan awal yang bijak untuk sisa ampas (produksi ampas – ampas yang telah digunakan sebagai pembangkit energi untuk proses) adalah dikempa terlebih dahulu menjadi bal (kubus). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan berat jenis ampas, kemudian diikat agar ampas tidak mudah lepas berterbangan (mawur). Selanjutnya ampas bal siap untuk digudangkan.

Penanganan debu hasil pembakaran ampas dilakukan dengan cara menangkap debu tersebut dengan menggunakan dust collector yaitu wetatau dry scrubber sebelum keluar melalui cerobong ketel. Debu dan abu hasil pembakaran ampas ditanam bersama dalam tempat pembuangan akhir kemudian disiram air. Hal ini dilakukan agar debu dan abu tersebut aman terhadap lingkungan, menghindari kebakaran karena dikhawatirkan abu masih mengandung bara api yang latent.
Penanganan awal untuk sisa blotong (produksi blotong - blotong yang telah dimanfaatkan petani) perlu ditangani dengan cara menanam ke dalam lubang pembuangan awal sebelum dimanfaatkan kembali sebagai pupuk. Hal ini dilakukan untuk menghindari pandangan dan bau yang tidak sedap.

Limbah cair bekas analisa gula di laboratorium ditangani dengan cara mengumpulkan cairan (filtrat) tersebut untuk di-elektrolisis agar logam berat menempel pada elektroda. Logam berat diambil dari elektroda sebagai limbah padat. Bersama-sama dengan limbah padat bekas analisa gula di laboratorium dan limbah padat lainnya ditanam bersama ke dalam tempat pembuangan akhir. Selanjutnya limbah cair yang telah ditritmen dinetralkan, kemudian bersama-sama dengan cairan lainnya (pendingin alat mesin pabrik, luberan bahan olah yang tidak disengaja, air kebutuhan karyawan pabrik) dikeluarkan dari pabrik dan dikirim ke tempat pengolahan limbah dengan teknologi sistem Biotray. Sistem ini dapat mengolah air limbah untuk dipakai kembali sehingga dapat mengurangi suplesi air segar sampai 0,6 – 1 M3 per ton tebu dan beban polutan dapat diturunkan sampai nihil.

Penyimpanan tetes tebu dalam tangki dapat ditangani dengan cara mengantisipasi suhu tetes, yaitu sebelum dikirim ke tangki tetes suhu tetes harus berkisar antara 35 – 40 oC. Misalnya dengan cara melewatkan tetes tersebut melalui pendingin sehingga tetes yang keluar dari pendingin tersebut berkisar 35 – 40 oC.


Sumber :
Eckenfelder, W.W. 1986. Industrial Water Pollution. Mc Graw Hill, New York.

Migo, V.P., M. Matsumura, E.J.D. Rosario dan H. Kataoka. 1993. Decolorization of Molasses Wastewate Using Inorganic Flocculant. J. Of Fermentation Bioengineering 75(6),438-442.

http://www.mipa.unej.ac.id/data/vol2no2/optimasi%20proses.pdf